Apa yang biasa kita dapat dari sebuah novel cinta? Yaah... gitu deh, lika-liku percintaan antara dua insan dimabuk asmara, biasanya berakhir happy ending karena ternyata mereka berjodoh, atau sad ending karena pasangannya ternyata mengidap penyakit berbahaya terus meninggal. Akan tetapi novel Adriana yang ditulis duet antara Fajar Nugros dan Artasya Sudirman ini bukan sekedar novel cinta biasa, bisa dikatakan novel ini meminjam kisah cinta antara Mamen dan Adriana untuk menyuruh pembaca mempelajari ulang sejarah! Nah lho... jadilah novel ini sebuah perpaduan antara novel cinta, novel sejarah, plus novel petualangan. Unik! Kisah awalnya ditulis oleh Fajar Nugros, meminjam Mamen sebagai tokoh utama. Mamen yang berniat menyelesaikan tugas skripsinya suatu hari kepincut oleh seorang gadis di lift perpustakaan nasional, tapi naas nya, Mamen harus memutar otaknya demi menjawab teka-teki yang diberi oleh gadis itu saat ia bertanya apakah mereka bisa bertemu lagi? "Jika karpet lift itu berganti lima kali aku akan menjumpaimu di tempat dua ular saling berlilitan pada tongkatnya saat proklamasi dibacakan." Hayyo... apa maksudnya? Jawaban aneh itu menjadi penanda dimulainya petualangan cinta Mamen. Dengan bantuan dari Sobar, sobatnya yang gape pelajaran Sejarah, Mamen pun berhasil mendapatkan jawaban satu demi satu teka-teki yang terus diberikan oleh gadis itu, Adriana. Sayangnya, baik Mamen ataupun Adriana tidak mengetahui bahwa ada seseorang yang kemudian mempermainkan mereka berdua dengan memalsukan teka-teki dan membuat keduanya harus mengitari berbagai tempat di Jakarta tanpa pernah bertemu. Mulai dari patung Pancoran, patung Arjuna, Pekan Raya Jakarta, sampai tugu Monas. Siapa sebenarnya pelaku permainan teka-teki itu? Dan apa motif terselubung di baliknya? Cerita belum selesai sampai di situ loh! Pada bagian pertengahan novel, Artasya Sudirman meneruskan apa yang telah ditulis oleh Fajar Nugros dengan meminjam Adriana sebagai tokoh sorotannya, sekaligus menambal sulam beberapa bagian yang mungkin dianggap masih membingungkan bagi pembaca, seperti: Apa sih maunya Adriana memberi teka-teki itu pada Mamen? Bagaimana kalau ternyata pertemuan awal Adriana dan Mamen di lift bukan peristiwa kebetulan belaka, melainkan sudah lama diincar oleh gadis cantik itu. Lalu bagaimana ending cerita tersebut? Apakah perjuangan Mamen membuahkan hasil? Yang menarik, gaya bertutur Fajar dan Artasya dalam novel ini bisa sewarna, serasa, sekaligus serasi. Keduanya bercerita dengan gaya mengalir, meremaja, sesekali ngocol, meski pada beberapa titik bisa memancing kejenuhan juga karena terlalu banyak lanturan dan dialog monoton, persis seperti kasus novel Eiffel Iam in Love yang kadar dialognya overdosis. Akan tetapi secara keseluruhan, kerjasama keduanya dalam meramu novel ini bisa dikatakan berhasil menggugah minat pembaca untuk terus penasaran hingga titik penghabisan. Bagi kamu-kamu yang pernah membaca Rahasia Meede karya E.S. Ito atau menonton Angel and Demon-nya Dan Brown, mungkin akan merasa novel Adriana ini punya kemiripan dengan dua karya itu, sama-sama berhubungan dengan Sejarah masa lampau, berhubungan dengan tempat-tempat bersejarah plus patung-patung di sebuah kota, juga berhubungan dengan Monas! Tapi dibanding dengan novel sejarah lainnya, novel Adriana ini jauh berbeda, karena motif utamanya adalah kisah cinta. Jadi tulisannya cair banget dan nggak bikin muka berkerut-kerut. Yang jelas, novel ini sangat layak dibaca buat kamu yang menyukai sesuatu yang unik. Buktiin sendiri deh!
Labirin Cinta di Kilometer Nol
Selasa, 11 Mei 2010
Diposting oleh rio adja di 07.12
Label: Resensi Novel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar